Halaman

Selasa, 28 November 2017

Magnet Rezeki: Cerita Mardigu Wowiek (part 5)


Magnet Rezeki - Kisah Inspiratif

KEIKHLASAN BERJUANG DI PERTEMPURAN ORANG LAIN
(bagian ke lima kisah nyata cerita bersambung)
saya men-dial no telp yang di berikan kepada saya oleh pak Aly. Terdengar sapaan salam di seberang telpon dimana kalimat selanjutnya setelah saling salam adalah memperkenalkan diri saya. Pak, saya dapat nomor bapak dari pak Aly yang katanya bapak berminat dengan gedung kami di jatibening raya bekasi untuk di jadikan swalayan, apa benar?
Ilustrasi: Anak Yatim
Dia jawab cepat, iya benar pak. Dan selanjutnya saya langsung
tanpa basa-basi menawarkan sebuah harga yang ternyata berlangsung alot karena katanya : saya harus lapor atasan dulu pak, tapi kalau boleh jujur penawaran bapak ketinggian dari anggaran kami.
Saya pun faham dengan jawaban tersebut, memang “deal” bisnis dalam keadaan terdesak atau dalam ke adaan terpaksa itu tidak benar, tidak nyaman. Kita terdesak waktu kita di mainkan “harga” dan ini sangat menyakitkan. Sebuah pesan bijak kepada saya atas peristiwa ini adalah jangan pernah melakukan dealing bisnis dalam keadaaan kepepet.
Semuanya jadi serba terpaksa, semuanya jadi serba tidak terbaik. Terburu-buru adalah hal yang buruk.
Saya hanya bisa menjawab, ok pak, santai saja, kabari saya kalau sudah ada keputusan.
Padahal mengucapkan kalimat tersebut dengan berat hati. Dengan “jaim” dan dengan harap-harap cemas. Namun suara kita tetap harus pede, tetap harus meyakinkan.
Selesai komunikasi tersebut saya pamit balik kerumah. badan remuk rasanya karena sejak semalam perjalanan panjang sudah saya jalani. Ada hal berat yang sesungguhnya harus saya lakukan kemudian yaitu apakah orang rumah bisa memahami masalah ini? ini saya rasa berat, sangat berat.
Perjalanan panjang melewati JORR ke arah selatan Jakarta menjadi terasa panjang karena kecemasan dalam diri saya memuncak.
Bahkan banyak lamunan dan bayangan terbersit di kepala saya akan banyak hal yang tidak saya ketahui di depan sana. Sampai telefon berdering beberapa kali pun saya baru “ngeh”. Oh ibu menelfpon dari malang. Saya angkat dan menyapa assalamu’alaikum ibu. Di jawab waalaikum salam mas. Iya nih ibu ngingetin lusa ibu ke Jakarta, tolong beliin tiket dan jemput ibu di bandara ya mas.
Terus beberes barang mau di pack di bawa kemalang. Dan lusanya 4 hari lagi notaris sudah di siapkan sama tante henny pembeli rumah ibu. Jangan lupa loh dokumen di kasih ke notaris. Foto copy saja dulu, dan ini no notarisnya ibu SMS sebentar lagi ya mas.
Demikian ibu terus berbicara panjang akan rencananya dan rencana setelahnya. Panjang dan bersemaangat.
Saya dalam hati berteriak meratap namun untung tak terdengar suara hati saya ini. Bayangkan kalau bisa kedengeran suara hati saya ada suara jeritan karena tersayat dan ada suara “keretek- keretek” perlahan seperti gelas yang hendak pecah.
Saya hanya bisa berkata, inggih bu, iya bu, iya bu, baik bu, sumuhun ibu, segera bu, iya, iya, waalaikum salam ibu. Itu komentar saya yang keluar dari mulut saya. Suara hati saya? Jangan Tanya apa “ratapan” yang keluar kalau bisa terdengar ngak tahu lagi namanya apa.
Selang tak lama setelah komunikasi dalam perjalan pulang tadi, saya tiba di rumah.
Saya memarkirkan mobil dan saya beranjak masuk kedalam rumah. Ke tiga anak saya semua sudah di rumah plus sang bayi yang belum setahun. SMP yang paling gede, SD, SD, bayi. Itulah ke empat anak saya.
Istri saya? Nah ini orang paling “berat” jalan hidupnya.
Saya bukan orang yang sempurna dan saya harus mengakui bahw aperkawinan say apertama kandas. Saya tidak malu mengakui saya ini bukan manusia sempurna. Sebuah fakta adalah saya harus berpisah dengan ibu dari kedua anak saya yang pertama. Istri saya sekarang adalah nyambung. Ibu dari dua anak bungsu saya dan ibu tiri dari dua anak remaja. Ngak gampang jaga hati dan jaga diri di dalam meniti hubungan keluarga seperti ini. Tidak gampang. Jangan pernah coba masuk dalam posisi seperti istri saya ini. Berat buat dia, dan berat buat sang suami. Percaya lah.
Secara biologis dan spiritual, betul ke empatnya adalah “bin” mardigu wowiek namun menjadi ibu dari empat anak memangnya mudah? 2 tiri dua kandung, memang mudah? Memenag bisa adil perasaan itu, memang bisa mulus semuanya? Ngak lah!
Kita semua tahu bahwa “respect” atau rasa hormat itu itu harus kita kumpulkan. Kita harus “earn”. Benarlah, bahwa rasa Cinta, rasa hormat dan kepercayaan semua harus kita kumpulan dengan menyicil setiap saat. Kita tidak bisa membeli secara tunai yang namanya cinta, rasa hormat dan kepercayaan. Kit aharus membayarnya dengan menyicil.
Menyicilnya jangka panjang, melelahkan. Begitu juga memantaskan menjadi ibu di 4 orang anak. Tidak gampang. Menyicilnya berat, perlahan, painful. Itulah gambaran singkat tentang hubungan keluarga kami.
Sehabis sholat magrib berjamaah kami makan malam. Semua informasi cerita apa kejadian hari ini oleh anak-anak mengalir lancar dari mulut mereka. Hingga giliran saya. Saya tercekat bicaranya. Sulit memulai cerita saya.
Sampai akhirnya saya meminta kita pindah keruang keluarga.
Karena saya terlihat serius mendadak suasana menjadi serius dan menegangkan. Saya kikuk sekali.
Tetapi saya pun harus bercerita, saya bercerita menceritakan apa yang terjadi dan apa yang akan terjadi. Saya menceritakan tentang kejadian dengan eyang kakungnya dan apa yang terjadi dengan eyang ti nya.
Dan tibalah saya mengharuskan keluar kalimat yang berat saya ucapkan. Saya harus mengatakan “pop the real story” dan melakukan permintaan.
Begini ya bun, begini yang mbak dan mas. Ayah mu ini berhutang air susu ibu ke eyang. Sekarang ada peluang untuk membalas air susu tersebut namun resikonya sangat berat karena kalian ikut menaggung akibatnya.
Ayah ngak ingin sebenarnya sewaktu ayah membayar kewajiban ayah kalian semua ikut menanggung beratnya beban tersebut. Namun kali ini ayah terpakasa lakukan. Ayah terpaksa meminta kalian juga ikut berani menanggung beban ini. Dan ini sekali lagi adalah pilihan sebelum kita lakukan. Kalian yang buat keputusan.
Selanjutanya, ada syarat yang harus kalian sepakati yaitu sampai kapanpun kalau di setujui apa yang akan kita lakukan. Eyang tidak boleh mengetahuinya sampai kapanpun dan sampai waktunya tiba, menurut ayah.
Saya tatap ke5 anggota keluarga saya yang semuanya diam, ekspresi bingung dan galau terlihat jelas. Saya melanjutkan monolog saya, Kita harus “mikul duwur mendem jero”. Kita panggul bersama dan kita pendam kedalam dalam tanpa satupun tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Saya kembali perhatikan wajah kelimanya yang tegang dan gelisah.
Saya menghela nafas panjang sebelum mengucapkan kalimat berikut ini, begini nak, begini bun, ayah minta izin untuk menjual seluruh harta kita, rumah kita dan juga ke empat mobil kita untuk menebus hutang eyang. Termasuk gedung yang di pakai rumah yatim.
Kita mungkin tidak akan punya rumah beberapa saat dan kita ngontrak rumah kecil saja karena uang hampir tak ada sisa. Semua uang tersebut untuk bayar bank dan menebus dokumen rumah eyang. Hal ini adalah sebenarnya kewajiban ayah seorang, bukan kalian. Tetapi kepada siapa lagi ayah minta izin kecuali kepada kalian.
Kalian bisa menolak ide ini, bunda punya hak untuk menolak ide ini, anak-anak pun demikian. Ini sayah tahu kok, tahu sekali, ini bukan “perang kalian” ini bukan hutang susu kalian, namun ayah dengan segala kerendahan hati mohon perkenan dan izin. Dengan berkata begini sebenarnya saya merendahkan diri saya di hadapan keluarga saya. Saya tidak perduli.
Semua terdiam. Satu ruangan tidak ada yang bunyi bersuara.
Semua wajahnya galau. Hingga anak saya pertama si mbak berkata,eehhmm yah, aku ikhlas yah. Aku ikut ayah aja. Jual aja rumah ini buat eyang. Kita kontrak ngak apa-apa.Dia berkata sambil matanya berkaca-kaca. Yang dilanjutkan adiknya si mas yang masih kelas 6 SD yang berkata iya ayah, jual aja. Dan tentu dua anak terkecil belum faham belum bersuara.
Tiba di istri saya, dia berkata, ayah..janji satu kepada kami bahwa nanti kelak kita di gantikan dengan rumah yang lebih bagus, yang lebih nyaman. Kapanpun itu bunda ikut saja. Biar kita prihatin dulu selama barneg-bareng ya ngak apa-apa. Bayarkan tunai hutang susu ibu ayah ya, segera. Ini peluang tidak datang dua kali dalam seumur hidup kita. Aku ikhlas yah, sangat ikhlas. Dan dia menetes deras air mata sembari berkata sesegukan.
Rontok seluruh tulang saya seketika mendengar kalimat dari anggota kecil keluarga saya ini. Asli saya hanya bisa mendatangi dan memeluk satu persatu dari mereka. Sekali lagi, ini bukan “their war” ini perjuangan saya namun mereka mendukung.
Saya menangis sejadi-jadinya dan kami pun berpelukan erat semuanya.
Dalam pelukan tersebut saya hanya mengatakan satu kalimat panjang, bunda terima kasih yan bun, terima kasih. beri ayah kesempatan untuk membuktikan suami macam apa aku ini. Dan kepada anak-anak saya saya mengatakan , terima kasih ya nak, terima kasih dan izinkan ayahmu membuktikan terbuat dari apa ayahmu ini. #peace (bersambung)

3 komentar:

  1. Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh, bergetar hati dan jadi bengkak mata karna bercucuran air mata, terimakasih telah berbagi cerita tentang Mardigu Mowiek sang Bossman .. ga akan bisa tidur rasanya nanti malam kalau belum menuntaskan serial cerita nya pak Mardigu tantang membalas hutang air susu ibu. Sekira nya berkenan mambuat saya tidur pulas nhehe mohon di share part selanjutnya cerita Bossman . Terimakasih semoga Allah membalas dengan balasan yang lebih baik. Aamiin

    BalasHapus
  2. Pak bossman,,,,,,gak ada part nya lagi ta? Penasaran,,,,,sudah terbawa suasana nih.

    BalasHapus
  3. Types of Baccarat - Wilbur's Online Casino - Worrione
    The number one rule 제왕카지노 of Baccarat 바카라 사이트 is the number of 인카지노 hands. If two hands total six hands, you could win the highest hand if you took

    BalasHapus