KEPUTUSAN PECUNDANG
(Sebuah kisah nyata bersambung berlanjut tulisan ke tiga)
Part 1 baca disini, part 2 disini
(Sebuah kisah nyata bersambung berlanjut tulisan ke tiga)
Part 1 baca disini, part 2 disini
"Ke Cinere pak", demkian saya mengucapkan
alamat yang akan di tuju ketika menutup pintu taxi di bandara menuju rumah
saya. Perjalanan di bandara Changi yaitu penerbangan singapura Jakarta tidak
terasa karena saya habiskan dengan tidur dari sejak di ruang tunggu kemudian
sholat subuh tepat sebelum boarding dan tidur kembali begitu badan menempel di
bangku pesawat.
Cinerenya mana pak? Supir taxi meminta
kepastian arah.
Deket lapangan golf pangk
alan jati pak, Demikian kalimat saya menjawab yang membuat supir taxi mengangguk dan melaju taxinya dengan kencang. Saya yang duduk di belakangpun kembali kosong isi pikiran saya dan pastinya tatapan saya menatap terangnya matahari jam 7 an pagi di bandara sukarno hatta ini, membuat mata saya berat, masih ngantuk, masih sepet seperti kehidupan yang sedang saya jalani dan tak lama kemudian saya tertidur kembali, lelap.
alan jati pak, Demikian kalimat saya menjawab yang membuat supir taxi mengangguk dan melaju taxinya dengan kencang. Saya yang duduk di belakangpun kembali kosong isi pikiran saya dan pastinya tatapan saya menatap terangnya matahari jam 7 an pagi di bandara sukarno hatta ini, membuat mata saya berat, masih ngantuk, masih sepet seperti kehidupan yang sedang saya jalani dan tak lama kemudian saya tertidur kembali, lelap.
Maaf pak, rumahnya di sebelah mana? Suara
supir taxi membangunkan tidur saya.
Saya menatap jalanan dan melihat gerbang
masuk lapangan golf pangkalan jati yang saya langsung berkata, belok kanan, dan
nanti belokan pertama ke kiri pak, rumah no 11.
Dalam hitungan 3 menit taxi berhenti tepat
di depan rumah saya berpagar abu-abu tua dan putih ini.
Saya membayar harga taxi dan saya pun turun
melangkah gontai. Arah langkah saya bukan kerumah saya tetapi ke rumah
seberangnya dan membalik badan kearah rumah saya, lalu menatap dengan seksama
rumah saya dari depan.
Saya perhatikan dengan perlahan mata saya
menyapu seluruh pemandangan akan rumah saya ini. Kalau rumah ini di jual,
berapa nilainya sekarang? Demikian dalam hati saya bertanya. Saya memang ada
asset sedikit di tempat lain, tetapi semua sudah di gadaikan untuk jaminan
proyek saya di bank. Hanya rumah ini saja yang bebas.
Saya perhatikan sekali lagi dengan seksama.
Masih bagus namun pertanyaannya berapa harganya? Mengingat waktu tinggal 4 hari
lagi. Mengingat saat ini tahun berat bagi property. Tahun 2008 tahun lalunya
adalah tahun bencana property dengan sub-prime mortgage yang banyak menimbulkan
efek financial negative di seluruh dunia termasuk Indonesia tak tercuali dan
sekarang setahun lewat yaitu masa itu di tahun 2009. Rasanya sulit menjual
rumah dnegan harga tinggi.
Saya bayangkan dan mencoba kalkulasi jika
saya diskon 20% dari market price harga rumah tersebut ternyata tidak menutupi
hutang rumah ibu. Kemudian saya tatap garasi rumah ada 2 mobil berjajar, mobil
saya 4 kala itu, dan pastinya 2 mobil keluar mengatar anak sekolah ke tiga anak
saya. Yang nomor 4 masih bayi. Dengan mobil tersebut ke empatnya saya mulai
mengitung nilainya, rasanya juga masih kurang.
Pikiran saya berkecamuk, rumah dan seluruh
harta dijual ternyata masih kurang dengan hutang kewajiban rumah ibu. Belum
lagi anak-anak tinggal dimana? Mobilisasi bagaimana? Banyak hal yang
berseliweran di otak saya. Belum lagi apa kata anak-anak? Apa kata istri? Apa
kata keluarga? Apa kata ibu?
Saya tidak siap untuk hal baru yang saya
tidak ketahui apa kedepanya. Namun mengatakan kebenaran kepada ibu menjadi opsi
yang mendadak hilang dalam pikiran saya. Entah apa yang supir taxi di singapura
masukan ke otak saya, saya menyetujui nasehatnya.
Lalu pikiran gila saya keluar. Karena saya
tahu saya memiliki 1 aset lagi yang lokasinya sangat stretagis, sangat bagus
dan pasti cepat di jualnya. Kalau di tambahkan dengan harta ini pas, rumah ibu
terlunasi.
Namun hal ini paling berat, jauh lebih
berat lagi untuk saya melakukannya. Jauh lebih berat dari pada menjual harta
milik keluarga yang herus melepas rumah, benar jauh lebih berat. Saya terus
berfikir akan hal itu dan bener-benar membuat saya jadi semakin bingung.
Namun saya tidak punya pilihan banyak lagi.
Pilihan saya sedikit dan waktu saya terbatas.
Saya putuskan kemudian masuk kerumah dan
mengebel pintu yang tak lama pembantu membukakan pintu dan saya berkata, tolong
buatin indomie goreng dua pake telor dadar rebus ya seperti kebiasaan saya.
Bumbu satu tambah bumbu asli bawang putih bawah merah merica sedikit garam.
Sama si ipul suruh panasin mobil hitam ya.
Setenagh jam lagi saya mau jalan. Demikian perintah berlapis saya kepembantu
saya di depan pagar rumah.
Saya masuk kerumah, istri lagi meniduri si
bayi bungsu dan salim salam sebentar saya ceritakan ringkas. Dan dia hanya
mendengarkan. Lalu saya bergegas kekamar mandi. Seluruh kegiatan di kamar mandi
saya tuntaskan dalam 15 sudah ganti baju siap jalan.
Mau kemana ayah? Demikian istri saya
bertanya.
Ke jatibening? Ke pak Aly. Sebuah kata
tegas dari saya, yang dia tahu saya tidak mengharapkan ada pertanyaan lebih
banyak lagi. Wajah saya lelah, mata saya lelah, pikiran saya loaded, penuh.
Makan mie goreng tidak habis dan saya sisakan buat istri saja, saya pun
berangkat ke jatibening bekasi.
Seperti perkataan saya sebelum ini, itulah
asset yang tadi saya katakan, sulit di per-imbangkan karena lebih berat melepas
asset ini dari pada melepas asset rumah tinggal saya.
Perjalanan cinere bekasi memakan waktu
hampir 1,5 jam dan tibalah saya di lokasi tersebut. Saya tidak langsung masuk
kelokasi tersebut, tetapi saya parkir di toko tepat di sebelah lokasi asset
yang saya maksud.
Saya perhatikan gedung dua lantai ini
dengan halaman luas yang bisa untuk parkir 10 mobil dan ada satu pohon mangga
yang besar di dekat ujung halaman.
Lokasinya yang di hook membuat asset ini
bisa di lihat dari 3 lokasi. Saya menatap lama dan saya kembali ke ingat di
suatu masa sebelum lokasi ini menjadi seperti sekarang. Yaitu tahun 1996, 13
tahun yang lalu terhitung waktu saya berdiri di gedung ini saat itu.
Tahun 1996 adalah perjalanan spiritual
ber-haji pertama kali saya. Saya berangkat dengan dua nenek saya. Satu nenek
dari pihak ibu satu nenek dari pihak bapak. Itu memang niat saya dari awal.
Saya ingin menghajikan mereka berdua dan saya yang mengurus prosesi mereka selama
berhaji.
Saya singkat ceritanya, ketika akan
melempar jumroh maka kita semua menunggu masa yang pas sekitar sehabis dhuha
saya menunggu antrian agak kosong mengingat saya membawa dua orang nenek-nenek
berusia hampir 70 tahun usianya.
Setiap jamaah yang kembali dari melempar
jumroh balik ketenda menasehati saya untuk menunda sebentar karena masih penuh
dan saya pun memanfaatkan membaca al quran. Sampailah saya membaca surah al
kahfi, surah 18 dari al quran itu di ayat 82 saya terhenti lama. Saya sampai
bolak balik.
Ini bukan al quran depag pakai terjemahan
namun ya alquran tanpa terjemahan yang sedikit-sedikit secara kata bahasa al
quran saya memang bisa faham.
Saya lama mengartikan versi saya loh ini
tentang ayat tersebut di mana terjemahan versi saya adalah “…menurut nabi
Khidir rumah itu milik anak yatim dan rumah yatim itu ada hartanya”.
Saya tersentak terdiam lama. Mengartikan
bolak balik versi saya “rumah yatim ada harta”. Sepenggal kalimat itu saya
sampai stabilo agar saya ingat dan saya pastikan. Dan bagi saya kata-kata ini
adalah RUMUS.
Entah angin apa yang menyamber saya saya
putuskan saya harus buat rumah untuk kaum yatim, dan pasti ada harta di situ.
Itu tulisan di quran yang saya percaya. Seingat saya setelah pencerahan itu
saya bawa kedua mbah putri saya tersebut melempar jumroh di 3 lokasi, yang kami
cukup heran karena kosong, song, kosong. Sampai kami bisa nyender di bibir
mangkuk besar penampang tumpukan batu sehingga kedua mbakhsaya bisa melempar
mengenai batu besar simbol iblis itu telak kena di lempar mbah yang sepuh ini,
bertkali-kali. Saya senang sekali dan kembali ketenda, dimana semua rombongan
jamaah heran kok di saat terpenuh tersesak kami berangkat cepat dan pulang
cepat, yang sampai sekarang juga saya heran karena kami bertiga bilang, sepi.
Yo wis, itu khan pengalaman kami bertiga.
Kembali saya berdiri di gedung 2 lantai di
daerah jati bening raya bekasi itu. Saya berdiri di seberang jalan di dekat pak
buah, tukang buah langganan kami. Terpampang tulisan besar Rumah Yatim Indonesia
di depan tempat parker dimana saya menatap di seberangnya. Ya inilah panti
yatim saya pertama, kantor pusatnya RYI.
Saya termangu.
Suara Adzan dhuzhur keluar dari rumah yatim
yang tanpa speaker namun keras juga terdengar hingga keluar jauh memecah lamunan
saya.
Saya bergegas mengambil air wudlu ke dalam
kantor dan panti yatim tersebut mengantri terakhir dan bias menghindari hamper
semua anak menyempatkan mencium tangan saya dan seperti biasa saya risih. Namun
mereka anak saya.
Ada 49 anak yang tinggal di dalam panti
saat itu, yang sisanya sekitar 50 an tetap dengan orang tuannya. Namun jam
pelajaran diniyah mereka di panti yatim semua sampai isya.
Pak aly mengimami dan saya makmum di
belakangnya di lantai dua gedung panti tersebut. Selesai ibadah tersebut kami
makan siang. Makan siang bersama bakso kuah dan nasi. Saya makan dengan
anak-anak, seperti kebiasaan saya sudah tahunan kalau saya menyempatkan sebulan
2 kali ke panti ini.
Pak aly membuka percakapan, ada apa mas
tumben siang-siang ke sini?
Saya tidak langsung menjawab pertanyaannya.
Saya malah bertanya, bagaimana perkembangan organisasi kita ini? Karena
biasanya pengasuh dan kakak Pembina rame dan hari itu hanya pak aly. Pak aly
adalah orang yang pertama bersama saya membangun organisasi rumah yatim Indonesia
ini.
Panjang ceritanya sebenarnya, namun saya
coba ringkas.
Sepulang haji saya berkata kepada adik saya
dimana kami memiliki 23 toko swalayan bernama toko mirah swalayan. Salah
satunya gedung ini namun saya berkata bahwa saya mau wakaf kan untuk panti
yatim dan adik saya ok saja lah memang saya yang punya.
Di kemudian hari toko mirah semunya di beli
oleh jaringan swalayan terbesar di Indonesia alias, 20 pertama toko swalayan
mereka itu mengambil jaringan yang saya bangun. Cukup geer juga, namun dari
awal niat saya memang bukan main retail ini jadi ya exit di tawar harga bagus.
Kembali ke panti yatim. Saya lama kenal
dengan pesantren hidayatullah, dan dari para pimpinan hidayatulah tersebut saya
di kenalkan ke pak Aly ini. Disinilah mulai manajemen panti yatim berjalan.
Tadinya saya pelihara 49 anak dan semua
biaya saya yang tanggung. Apalagi mereka sekolah umum biasa, siang sampai malam
diniyah pelajaran agama di panti. Jadi mereka semua punya ijasah sekolah umum.
Dan punya ketrampilan agama.
Sampai semuanya tamat SMA mereka 2 tahun
berbakti buat adik-adiknya baru kami lepas kemasyarakat.
Dan ketika 49 anak tersebuat sudah lepas,
saya tidak lagi urun rembug manajemen langsung karena rumah yatim sudah besar.
Ada 50 lebih underbow organisasi yang bergabung dan ada lebih 10.000 di masa
puncaknya anak yatim dan santri yatim yang kami kelaola, saat ini (2017) hanya
6.000an.
Maaf ini bukan cerita tentang Rumah Yatim
Indonesia. Ini cerita tentang hutang yang saya harus tanggung.
Kembali ke pak aly. Saya bertanya setelah
penjelasan perkembangan rumah yatim. Pak, nyuwon sewu nggih, boleh kah pak aly
ingat kembali apa akad saya terhadap gedung ini. Saya hanya mau mengingat
kembali supaya saya tidak salah faham.
Pak aly berkata, wah mas ini sudah Tanya
puluhan kali.
Iya pak aly, akad itu janji soalnya. Say
amencoba menyakinkan dirinya
Seingat saya, rumah yatim Indonesia
manfaatkan gedung dan lahan ini untuk gerakan social berjamaah membangun kaum
dhuafa dan yatim.
Sekali lagi pak aly?
Manfaatkan gedung ini,kata pak aly
Tidak pernah saya katakanagedung dan tanah
ini “untuk” rumah yatim ?
Ngak mas, ada kok suratnya. Dan diapun
melihatkan surat wasiat tersebut. Benar saya mengatakan manfaatkan gedung dan
lahan ini untuk rumah yatim.
O iya kalau Tanah kita di bekasi utara
berapa besar pak aly? Say bertanya lagi
Di jawab olehnya, 1 ha lebih sedikit.
Kalau yang di tasik? Saya bertanya lagi.
3 hektar lebih, kata pak aly.
Mungkinkan rumah yatim operasinya kita
geser ke bekasi utara atau ke tasik? Saya bertanya.
Pak aly terdiam dan menatap saya lama. Saya
pun diam dan menundukkan wajah saya. Pak aly pun dengan wajah berubah sendu
berkata, ada apa mas? Bukan mas wowiek yang saya kenal 15 tahun ini, demikian
pak aly berkata dengan lembut.
Saya
menarik nafas panjang dan lama. Saya belum menjawab pertanyaannya, namun di
dalam hati saya mulai berkecamuk pertanyaan dan pernyataan. Apakah panti ini
asetnya harus saya lepas? Saya terus bicara dalam hati dan sahabat saya di
depan saya menanti sebuah kata keluar dari lidah saya, dan tidak bisa
keluar. #peace (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar