Halaman

Minggu, 26 November 2017

Magnet Rezeki: Cerita Mardigu Wowiek (Part 3)



KEPUTUSAN PECUNDANG
(Sebuah kisah nyata bersambung berlanjut tulisan ke tiga)

Part 1 baca disini, part 2 disini
"Ke Cinere pak", demkian saya mengucapkan alamat yang akan di tuju ketika menutup pintu taxi di bandara menuju rumah saya. Perjalanan di bandara Changi yaitu penerbangan singapura Jakarta tidak terasa karena saya habiskan dengan tidur dari sejak di ruang tunggu kemudian sholat subuh tepat sebelum boarding dan tidur kembali begitu badan menempel di bangku pesawat.
 
Cinerenya mana pak? Supir taxi meminta kepastian arah.
Deket lapangan golf pangk
alan jati pak, Demikian kalimat saya menjawab yang membuat supir taxi mengangguk dan melaju taxinya dengan kencang. Saya yang duduk di belakangpun kembali kosong isi pikiran saya dan pastinya tatapan saya menatap terangnya matahari jam 7 an pagi di bandara sukarno hatta ini, membuat mata saya berat, masih ngantuk, masih sepet seperti kehidupan yang sedang saya jalani dan tak lama kemudian saya tertidur kembali, lelap.
Maaf pak, rumahnya di sebelah mana? Suara supir taxi membangunkan tidur saya.
Saya menatap jalanan dan melihat gerbang masuk lapangan golf pangkalan jati yang saya langsung berkata, belok kanan, dan nanti belokan pertama ke kiri pak, rumah no 11.
Dalam hitungan 3 menit taxi berhenti tepat di depan rumah saya berpagar abu-abu tua dan putih ini.
Saya membayar harga taxi dan saya pun turun melangkah gontai. Arah langkah saya bukan kerumah saya tetapi ke rumah seberangnya dan membalik badan kearah rumah saya, lalu menatap dengan seksama rumah saya dari depan.
Saya perhatikan dengan perlahan mata saya menyapu seluruh pemandangan akan rumah saya ini. Kalau rumah ini di jual, berapa nilainya sekarang? Demikian dalam hati saya bertanya. Saya memang ada asset sedikit di tempat lain, tetapi semua sudah di gadaikan untuk jaminan proyek saya di bank. Hanya rumah ini saja yang bebas.
Saya perhatikan sekali lagi dengan seksama. Masih bagus namun pertanyaannya berapa harganya? Mengingat waktu tinggal 4 hari lagi. Mengingat saat ini tahun berat bagi property. Tahun 2008 tahun lalunya adalah tahun bencana property dengan sub-prime mortgage yang banyak menimbulkan efek financial negative di seluruh dunia termasuk Indonesia tak tercuali dan sekarang setahun lewat yaitu masa itu di tahun 2009. Rasanya sulit menjual rumah dnegan harga tinggi.
Saya bayangkan dan mencoba kalkulasi jika saya diskon 20% dari market price harga rumah tersebut ternyata tidak menutupi hutang rumah ibu. Kemudian saya tatap garasi rumah ada 2 mobil berjajar, mobil saya 4 kala itu, dan pastinya 2 mobil keluar mengatar anak sekolah ke tiga anak saya. Yang nomor 4 masih bayi. Dengan mobil tersebut ke empatnya saya mulai mengitung nilainya, rasanya juga masih kurang.
Pikiran saya berkecamuk, rumah dan seluruh harta dijual ternyata masih kurang dengan hutang kewajiban rumah ibu. Belum lagi anak-anak tinggal dimana? Mobilisasi bagaimana? Banyak hal yang berseliweran di otak saya. Belum lagi apa kata anak-anak? Apa kata istri? Apa kata keluarga? Apa kata ibu?
Saya tidak siap untuk hal baru yang saya tidak ketahui apa kedepanya. Namun mengatakan kebenaran kepada ibu menjadi opsi yang mendadak hilang dalam pikiran saya. Entah apa yang supir taxi di singapura masukan ke otak saya, saya menyetujui nasehatnya.
Lalu pikiran gila saya keluar. Karena saya tahu saya memiliki 1 aset lagi yang lokasinya sangat stretagis, sangat bagus dan pasti cepat di jualnya. Kalau di tambahkan dengan harta ini pas, rumah ibu terlunasi.
Namun hal ini paling berat, jauh lebih berat lagi untuk saya melakukannya. Jauh lebih berat dari pada menjual harta milik keluarga yang herus melepas rumah, benar jauh lebih berat. Saya terus berfikir akan hal itu dan bener-benar membuat saya jadi semakin bingung.
Namun saya tidak punya pilihan banyak lagi. Pilihan saya sedikit dan waktu saya terbatas.
Saya putuskan kemudian masuk kerumah dan mengebel pintu yang tak lama pembantu membukakan pintu dan saya berkata, tolong buatin indomie goreng dua pake telor dadar rebus ya seperti kebiasaan saya. Bumbu satu tambah bumbu asli bawang putih bawah merah merica sedikit garam.
Sama si ipul suruh panasin mobil hitam ya. Setenagh jam lagi saya mau jalan. Demikian perintah berlapis saya kepembantu saya di depan pagar rumah.
Saya masuk kerumah, istri lagi meniduri si bayi bungsu dan salim salam sebentar saya ceritakan ringkas. Dan dia hanya mendengarkan. Lalu saya bergegas kekamar mandi. Seluruh kegiatan di kamar mandi saya tuntaskan dalam 15 sudah ganti baju siap jalan.
Mau kemana ayah? Demikian istri saya bertanya.
Ke jatibening? Ke pak Aly. Sebuah kata tegas dari saya, yang dia tahu saya tidak mengharapkan ada pertanyaan lebih banyak lagi. Wajah saya lelah, mata saya lelah, pikiran saya loaded, penuh. Makan mie goreng tidak habis dan saya sisakan buat istri saja, saya pun berangkat ke jatibening bekasi.
Seperti perkataan saya sebelum ini, itulah asset yang tadi saya katakan, sulit di per-imbangkan karena lebih berat melepas asset ini dari pada melepas asset rumah tinggal saya.
Perjalanan cinere bekasi memakan waktu hampir 1,5 jam dan tibalah saya di lokasi tersebut. Saya tidak langsung masuk kelokasi tersebut, tetapi saya parkir di toko tepat di sebelah lokasi asset yang saya maksud.
Saya perhatikan gedung dua lantai ini dengan halaman luas yang bisa untuk parkir 10 mobil dan ada satu pohon mangga yang besar di dekat ujung halaman.
Lokasinya yang di hook membuat asset ini bisa di lihat dari 3 lokasi. Saya menatap lama dan saya kembali ke ingat di suatu masa sebelum lokasi ini menjadi seperti sekarang. Yaitu tahun 1996, 13 tahun yang lalu terhitung waktu saya berdiri di gedung ini saat itu.
Tahun 1996 adalah perjalanan spiritual ber-haji pertama kali saya. Saya berangkat dengan dua nenek saya. Satu nenek dari pihak ibu satu nenek dari pihak bapak. Itu memang niat saya dari awal. Saya ingin menghajikan mereka berdua dan saya yang mengurus prosesi mereka selama berhaji.
Saya singkat ceritanya, ketika akan melempar jumroh maka kita semua menunggu masa yang pas sekitar sehabis dhuha saya menunggu antrian agak kosong mengingat saya membawa dua orang nenek-nenek berusia hampir 70 tahun usianya.
Setiap jamaah yang kembali dari melempar jumroh balik ketenda menasehati saya untuk menunda sebentar karena masih penuh dan saya pun memanfaatkan membaca al quran. Sampailah saya membaca surah al kahfi, surah 18 dari al quran itu di ayat 82 saya terhenti lama. Saya sampai bolak balik.
Ini bukan al quran depag pakai terjemahan namun ya alquran tanpa terjemahan yang sedikit-sedikit secara kata bahasa al quran saya memang bisa faham.
Saya lama mengartikan versi saya loh ini tentang ayat tersebut di mana terjemahan versi saya adalah “…menurut nabi Khidir rumah itu milik anak yatim dan rumah yatim itu ada hartanya”.
Saya tersentak terdiam lama. Mengartikan bolak balik versi saya “rumah yatim ada harta”. Sepenggal kalimat itu saya sampai stabilo agar saya ingat dan saya pastikan. Dan bagi saya kata-kata ini adalah RUMUS.
Entah angin apa yang menyamber saya saya putuskan saya harus buat rumah untuk kaum yatim, dan pasti ada harta di situ. Itu tulisan di quran yang saya percaya. Seingat saya setelah pencerahan itu saya bawa kedua mbah putri saya tersebut melempar jumroh di 3 lokasi, yang kami cukup heran karena kosong, song, kosong. Sampai kami bisa nyender di bibir mangkuk besar penampang tumpukan batu sehingga kedua mbakhsaya bisa melempar mengenai batu besar simbol iblis itu telak kena di lempar mbah yang sepuh ini, bertkali-kali. Saya senang sekali dan kembali ketenda, dimana semua rombongan jamaah heran kok di saat terpenuh tersesak kami berangkat cepat dan pulang cepat, yang sampai sekarang juga saya heran karena kami bertiga bilang, sepi. Yo wis, itu khan pengalaman kami bertiga.
Kembali saya berdiri di gedung 2 lantai di daerah jati bening raya bekasi itu. Saya berdiri di seberang jalan di dekat pak buah, tukang buah langganan kami. Terpampang tulisan besar Rumah Yatim Indonesia di depan tempat parker dimana saya menatap di seberangnya. Ya inilah panti yatim saya pertama, kantor pusatnya RYI.
Saya termangu.
Suara Adzan dhuzhur keluar dari rumah yatim yang tanpa speaker namun keras juga terdengar hingga keluar jauh memecah lamunan saya.
Saya bergegas mengambil air wudlu ke dalam kantor dan panti yatim tersebut mengantri terakhir dan bias menghindari hamper semua anak menyempatkan mencium tangan saya dan seperti biasa saya risih. Namun mereka anak saya.
Ada 49 anak yang tinggal di dalam panti saat itu, yang sisanya sekitar 50 an tetap dengan orang tuannya. Namun jam pelajaran diniyah mereka di panti yatim semua sampai isya.
Pak aly mengimami dan saya makmum di belakangnya di lantai dua gedung panti tersebut. Selesai ibadah tersebut kami makan siang. Makan siang bersama bakso kuah dan nasi. Saya makan dengan anak-anak, seperti kebiasaan saya sudah tahunan kalau saya menyempatkan sebulan 2 kali ke panti ini.
Pak aly membuka percakapan, ada apa mas tumben siang-siang ke sini?
Saya tidak langsung menjawab pertanyaannya. Saya malah bertanya, bagaimana perkembangan organisasi kita ini? Karena biasanya pengasuh dan kakak Pembina rame dan hari itu hanya pak aly. Pak aly adalah orang yang pertama bersama saya membangun organisasi rumah yatim Indonesia ini.
Panjang ceritanya sebenarnya, namun saya coba ringkas.
Sepulang haji saya berkata kepada adik saya dimana kami memiliki 23 toko swalayan bernama toko mirah swalayan. Salah satunya gedung ini namun saya berkata bahwa saya mau wakaf kan untuk panti yatim dan adik saya ok saja lah memang saya yang punya.
Di kemudian hari toko mirah semunya di beli oleh jaringan swalayan terbesar di Indonesia alias, 20 pertama toko swalayan mereka itu mengambil jaringan yang saya bangun. Cukup geer juga, namun dari awal niat saya memang bukan main retail ini jadi ya exit di tawar harga bagus.
Kembali ke panti yatim. Saya lama kenal dengan pesantren hidayatullah, dan dari para pimpinan hidayatulah tersebut saya di kenalkan ke pak Aly ini. Disinilah mulai manajemen panti yatim berjalan.
Tadinya saya pelihara 49 anak dan semua biaya saya yang tanggung. Apalagi mereka sekolah umum biasa, siang sampai malam diniyah pelajaran agama di panti. Jadi mereka semua punya ijasah sekolah umum. Dan punya ketrampilan agama.
Sampai semuanya tamat SMA mereka 2 tahun berbakti buat adik-adiknya baru kami lepas kemasyarakat.
Dan ketika 49 anak tersebuat sudah lepas, saya tidak lagi urun rembug manajemen langsung karena rumah yatim sudah besar. Ada 50 lebih underbow organisasi yang bergabung dan ada lebih 10.000 di masa puncaknya anak yatim dan santri yatim yang kami kelaola, saat ini (2017) hanya 6.000an.
Maaf ini bukan cerita tentang Rumah Yatim Indonesia. Ini cerita tentang hutang yang saya harus tanggung.
Kembali ke pak aly. Saya bertanya setelah penjelasan perkembangan rumah yatim. Pak, nyuwon sewu nggih, boleh kah pak aly ingat kembali apa akad saya terhadap gedung ini. Saya hanya mau mengingat kembali supaya saya tidak salah faham.
Pak aly berkata, wah mas ini sudah Tanya puluhan kali.
Iya pak aly, akad itu janji soalnya. Say amencoba menyakinkan dirinya
Seingat saya, rumah yatim Indonesia manfaatkan gedung dan lahan ini untuk gerakan social berjamaah membangun kaum dhuafa dan yatim.
Sekali lagi pak aly?
Manfaatkan gedung ini,kata pak aly
Tidak pernah saya katakanagedung dan tanah ini “untuk” rumah yatim ?
Ngak mas, ada kok suratnya. Dan diapun melihatkan surat wasiat tersebut. Benar saya mengatakan manfaatkan gedung dan lahan ini untuk rumah yatim.
O iya kalau Tanah kita di bekasi utara berapa besar pak aly? Say bertanya lagi
Di jawab olehnya, 1 ha lebih sedikit.
Kalau yang di tasik? Saya bertanya lagi.
3 hektar lebih, kata pak aly.
Mungkinkan rumah yatim operasinya kita geser ke bekasi utara atau ke tasik? Saya bertanya.
Pak aly terdiam dan menatap saya lama. Saya pun diam dan menundukkan wajah saya. Pak aly pun dengan wajah berubah sendu berkata, ada apa mas? Bukan mas wowiek yang saya kenal 15 tahun ini, demikian pak aly berkata dengan lembut.
Saya menarik nafas panjang dan lama. Saya belum menjawab pertanyaannya, namun di dalam hati saya mulai berkecamuk pertanyaan dan pernyataan. Apakah panti ini asetnya harus saya lepas? Saya terus bicara dalam hati dan sahabat saya di depan saya menanti sebuah kata keluar dari lidah saya, dan tidak bisa keluar. #peace (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar