Ada seorang pengusaha Indonesia yang memiliki banyak perusahaan dengan asset trilyunan rupiah. Namun ternyata di balik kesuksesannya, ada sebuah kisah yang mengharukan yang pernah dialaminya.
Pengusaha tersebut bernama Mardigu Wowiek. Pada kesempatan ini ia menceritakan pengalaman cukup berat yang pernah ia lalui sekitar 8 tahun lalu.
Semoga, dengan cerita ini kita semua bisa mengambil pembelajaran ya..
HANYA SEORANG PEJUANG TAHU ARTINYA KEKALAHAN
(Inilah kisah nyata saya pribadi yang saya
ungkap sedikit hanya untuk menunjukan saya manusia biasa yang pernah kalah)
Mas, demikian suara keras ibu saya
memanggil saya ketika baru masuk rumahnya.
Dalem bu, demikian saya menjawab kebiasaan
saya ketika di sapa olehnya.
Mau nanya mas, surat tanah dan rumah ibu
kata adek ada di mas wowiek ya? Ini adalah suara ibu saya 8 tahun lalu ketika
sedang bertandang kerumahnya di bilangan Halim Jakarta timur.
Ilustrasi: Rumah Disita |
Saya bertanya kembali, surat-surat rumah
ini bu?
Iya, jawabnya sambil menyiapkan minuman
kesukaan saya es teh manis pakai merek kampung teh Potji kesukaan saya. dan
dilanjutkan komentarnya, kata
adek , mas yang pegang.
adek , mas yang pegang.
Sebuah “kode” keras saya dapatkan mendengar
kata “kata adek”. Iya kami hanya berdua dan adik saya satu, wanita tinggal di
malang dengan suaminya dan anak satu.
Langsung saya jawab, iya bu ada sama aku.
O iya sudah kalau begitu, siapin ya, karena
ibu mau jual rumah ini dan mau pindah saja dari Jakarta. ballik kampung ke
pujon saja, ke malang saja lagi, khan adek juga di sana. Di Jakarta sudah ngak
ada siapa-siapa ngak enak. Bapak almarhum sudah 1000 harian. Ibu mau jual saja
tanah dan rumah ini. balik kampung, berladang saja, kayak dulu lagi.
Ibu saya nyerocos bercerita keinginannya
dan saya hanya satu hal, di kepala saya mencoba mengingat “dimana surat rumah
ini”. aslinya, saya tidak tahu tetapi adik saya berkata “ada di mas wowiek” itu
kode bagi saya.
Iya bu, heeh, aku setuju. Mendingan ke
malang, udara bersih, suasana asri dan ngak seperti Jakarta yang macet, bising,
kasar dan udara kotor ngak baik buat kesehatan.
Ibu berkata, kebetulan tetangga sebelah
sahabat ibu mau beli rumah ini , katanya buat tinggal anaknya supaya pada
ngumpul. Mungkin minggu depan transaksi mas. Siapin ya dokumennya.
O iya bu, siyaaaap, hanya itu komentar saya
sambil meneguk es teh manis favorit saya. manisnya ngak terlalu manis seperti
kesukaan saya. dinginnya yang saya sukai. Ibu tahu sekali takaranya yang saya
sukai.
Saya tinggal di bilangan selatan Jakarta,
ibu di Jakarta timur. Setiap kesempatan saya mengunjungi beliau kalau beliau
sedang di Jakarta namun selama menunggu acara hajatan 1000 harian ayah
berpulang, ibu banyak di malang, di rumah adik.
Dan ketika ibu di Jakarta saya menginap
dengan keluarga plus cucu cucunya yang pasti senang eyangnya yang cerewet ada
di Jakarta. dan ketika hari itu saya mendatangi ibu, kebetulan sendirian. Jadi
kami bisa berbicara berdua.
Selang beliau ambil wudlu untuk sholat saya
mengambil kesempatan menelfon adik saya di malang. Karena saya sudah sholat
dzuhur sebelum tiba di rumah ibu.
Saya naik ke lantai dua dan berbicara
kepada adik saya, dek…itu surat tanah bagaimana ceritanya?
Adik saya tanpa jeda langsung bercerita,
begini mas, aku dapat surat beberapa bulan lalu dari bank. Ternyata surat tanah
dan rumah bapak ibu ini di jaminkan kebank dengan nilai 80% dari nilai rumah 3
tahun yang lalu, tepat 3 bulan sebelum bapak meninggal.
Sama siapa di jaminkannya?
Bapak almarhum yang jaminkan asset rumah
sebagai avalis. Yang pinjam perusahaan bapak sama mitra nya orang Singapura
Julian Kho namanya.
Ketika di jaminkan, selang kemudian bapak
almarhum.
Rupanya Julian culas mas, dia tidak pernah
bayar cicilan dan rumah ini sejak pertama di gadaikan tidak pernah di cicil
bayaran. Sekarang sudah “call 5” dan akan dilelang 3 bulan lagi dan juga sebuah
fakta menyakitkan bahwa nilai bunga serta pokok sudah 2 kali lipat. Harus bayar
dua kali lipat kita.
Mendengar informasi ini darah saya memuncak
dan asli saya marah, marah sekali.
Bajingan tuh orang singapura, segala sumpah
serapah keluar dari mulut saya. gemetar badan saya menahan amarah.
Maassss, di mana? Terdengar suara ibu di
bawah memanggil saya.
Dalem bu!! Saya jawab cepat setelah menutup
telpon dengan adik saya, dan berkata sebentar bu, sholat dulu. Saya segera ke
mamar mandi di atas dan menyiram muka saya dengan air, dan wudhu. Saya sudah
dzuhur namun saya harus bersandiwara pada ibu saya kala itu, saya ini ngak tahu
harus lakukan apa karena bingung. Lalu saya berkata, sebentar bu mas wowiek
sholat dulu.
Saya ngak tahu ibu mengartikan sholat
dzuhur atau apa, pokoknya saya hanya mau ambil jeda sesaat. Tak mungkin saya
memperlihatrkan wajah saya yang merah. Mata saya yang nanar, tangan saya yang
menggenggam erat karena emosi.
Saya pun sholat, sholat hajat. Intinya saya
menjaga jarak sesaat dan munajat.
Sayapun turun setelahnya, wajah murka saya
mudah-mudahan tidak terbaca oleh ibu. Nafas saya pun sudah reda.
Tak lama duduk di bawah depan taman dekat
kolam koi, sang ibupun bercerita niatnya membeli lahan apel dan lahan jeruk dan
niatnya berladang seperti dulu. Sewaktu masa kecilnya dulu. Ceritanya seru,
semangat berapi-api dan ini menyenangkan sekali melihat ekspresi ibu seperti
ini. mungkin karena sejak ayah almarhun 1000 hari sebelum ini ibu ibarat
layangan putus, sesekali masih menangis karena kehilangan soulmate nya yang
telah di tempuh hidup bersama selama 42 tahun.
Setelah banyak cerita saya pamit dan
bertanya jam berapa pesawat besok berangkat ke malang, karena saya akan antar
ke bandara. Singkat cerita saya pamit dan pembantu di rumah ibu 2 orang
menyiapkan segala kegiatan ibu merapihkan barang-barang.
Karena kurang dari 7 hari lagi transaksi
dan kurang dari 30 hari segala perabotan di bawa pindah kemalang.
Dalam perjalan menuju rumah saya, kepala
saya berisi ribuan lintasan pikiran. Dari pikiran jahat hingga pikiran mulia.
Tetapi 90% rasanya bakal criminal, pikiran jahat mendominasi saya.
Saya akan cari Julian kho, walau di
singapura.
Tetapi saya juga harus ke bank yang akan
melakukan lelang atas rumah tersebut, dan pastinya ibu tidak boleh tahu.
Malam berlalu tanpa saya nikmati. Paginya
saya ke bank di wilayah warung buncit. Pejabat bank menjelaskan bahwa nilainya
dengan bunga berbunga menjadi 2 kali lipat dari nilai pinjaman.
Saya pun menjelaskan saya akan bayar tetapi
tidak mungkin kalau bunga saya bayar. Saya minta hair cut di lakukan, yaitu
bayar pokoknya saja. Yang mengejutkan saya ternyata harga rumah tersebut value
nya waktu di jaminkan di atas nilai rumah tersebut. Apreisal value nya naik
hampir 50%. Jadi walaupun angkanya sudah di potong bunga , ke pokoknya saja,
angka nya mencapai 10 digit juga.
Persis dengan harga yang akan terjadi
transaksi. Persis. Jadi intinya kalau punya hutang di bank setelh hair cut di
setujui pun dan rumah itu di jual, tidak ada sisa alias, seluruh nilai rumah
akan hilang untuk menebus harga rumah tersebut.
Bisa di bayangkan ibu kita yang kita cintai
kehilangan pasangan hidupanya dan 1000 hari kemudian harus kehilangan seluruh
asset harta sisanya yang seharusnya bisa untuk menikmati hari tuanya.
Saya terdiam. Asli saya terdiam. Saya hanya
keluar satu kata, pak saya bayar, saya minta hair cut, sudah 3 tahun tidak ada
kepastian saya ahli waris mengatakan saya akan bayar, asal hair cut. Saya
bicara panjang lebar dan satu hal pesan yang saya sampaikan, saya tahu apa yang
saya harus lakukan dan saya kenal dunia bank, seberapa bajingannya bank saya
kenal. Intinya, jangan main sepihak, saya manusia yang serba penuh
keterbatasan.
Di desak seperti ini seharian, sampai ke
direksi, saya berikan personal garansi boleh cek reputasi saya, saya bayar asal
“hair cut” dan di setujui. Saya boleh menarik nafas lega sedikit, walau masalah
belum selesai.
Sebagai pebisnis, uang “idle” itu langka, sebenarnya
saya tidak pegang uang sebegitu nilainya. saya 8 tahun yang lalu semua lagi
menaman. Tidak mungkin saya buang atau jual karena semua lagi bergerak.
Saya kejar Julian pun menurut saya tidak
akan bisa menyelesaikan masalah saya dalam waktu dekat. Interpol mudah
mencarinya namun melihat gelagat seperti begini, ini masalah panjang. Tidakan
kriminalnya pasti saya kejar. Tapi sekali lagi, saya tidak punya “luxury”
waktu. Harus buat keputusan cepat.
Bagi saya, menyelesaikan masalah ibu jauh
lebih penting. Waktu hanya tingal 6 hari lagi. Setiap detik berjalan, saya
tegang.
Apa pilihan saya?
Mengatakan sebenarnya kepada ibu? Bu maaf,
harta ibu di jaminkan dan tidak bisa di tebus. Harta ibu habis tidak bersisa.
Iya saya harus bicara begitu? Yang pasti mengatakan sebenarnya akan membuat ibu
jatuh. Saya tahu sekali ibu.
Atau alternative kedua mencari Julian dan
memaksanya membayar? Tetapi bagaimana mencarinya? Atau pilihan terakhir :
membayar menebus dokumen tersebut namun saya tidak punya di tangan semua itu. Kurang.
Kepada siapa saya mengadu? Kepada siapa
saya meminta pertolongan? Seperti semua sahabat tahu, ternyata pilihan ada di
diri kita sendiri bener khan?
Ada 3 pilihan yang di ambil dan harus di
lakukan salah satunya, segera.
Karena saya terdesak, saya pilih, yang
kedua. Saya cari Julian. Saya punya akses untuk hal itu dan setelah mencek
imigrasi “confirm” dia sedang tidak di Indonesia, dia di luar . Bisa jadi juga
tidak di singapura. Saya cek Interpol dengan akses saya, dia ada di singapura.
Tanpa pikir panjang, saya berangkat langsung ke Singapura bawa badan dengan
passport khusus.
Hari kelima sebelum transaksi saya tiba di
singapura pesawat siang. Sendirian.
Saya sudah dapat alamatnya, saya kejar. Di
rumahnya tidak ada, ada di kantor saya kejar juga. Lagi keluar juga, saya balik
lagi kerumahnya saya tunggu di sekitar rumahnya. hingga malam sekitar jam 10an
belum juga datang. Karena emosi, saya grasak grusuk, entah iblis apa bersama saya,
saya sangat murka dan terus memompa amarah saya. rasanya saat itu Saya sudah
tidak ada takutnya sama sekali.
Dan setengah sebelas an malam, seorang
tinggi besar badan setengah bungkuk keluar dari mobil. Ahh ini dia si Julian.
Keluar pintu mobil dia berjalan ke arah rumahnya dari car park dan ketika
hendak masuk di halaman rumahnya yang kecil. Saya pun menyapa, hei mr Julian!!
Dia terperangah mendengar panggilam keras
tersebut. Kami saling kenal dan saya yakin dia hafal suara saya. Saya tahu dia,
dan dia tahu siapa saya.
Wajahnya menatap saya sekilas dan melihat
saya melaju cepat kearahnya hingga jarak hanya 2 meter tepat di depan mobil dan
halaman rumahnya. Dia tahu sekali saya sangat emosi.dan bisa melakukan apapun
atas nama kebenaran versi saya.
You know why I am here? Saya berkata dengan
kalimat sinis dan dengan anda intonasi marah di tambah suara saya keras.
Yes, katanya dengan lugas dan matanya tidak
menatap saya lagi.
I need no answer, give back all my father
money and you are still the same as it is. Saya langsung mengancam bayar
seluruh uang ayah saya, dia akan menjadi manusia yang sama seperti sekarang.’
Dia menarik nafas dan berkata, saya tidak
ada uang , I don’t have the money, all in project and its don’t run well.
Saya menahan tangan saya namun tetap saja
tangan saya naik sedikit dan dia tahu gerakan itu dan mencoba menghindar. Saya
tidak sampai menghajarnya namun gerakan itu sudah nyaris terjadi. Saya bukan
jagoan bela diri apapun, namun saya bukan orang normal saat itu. Emosi saya
memuncak sangat ingin membunuhnya.
Tak lama di jendela rumahnya nonggol wajah
ibu tua, saya rasa istrinya. Mungkin terganggu dengan diskusi kami dan suara
saya yang keras pasti terdengar.
Saya pun menatap wajah tua wanita tersebut
yang pucat, yang agaknya sedang sakit.
Saya berkata, are you Julian wife?
Diangguk olehnya dan saya pun mendekat
kearah jendela dan berkata, you know that your husband stealing my father money
? saya berkata keras dengan niat seluruh tetangga agar mendengar dengan tangan
menunjuk ke Julian.
Wanita paruh baya itu menatap saya dan
menggelengkan kepalanya.
Saya berkata ke Julian, hei you, Julian, I
wan you admit that you stole my father money? You are aware that loan that you
take with my father asset pledge to the bank you never paid a penny, that not
by accident that you are intentionaly stealing my father money. itu niat kamu
dari awal mengambil uang tersebut, itu mencuri uang ayah saya.
Dia terdiam, Julian terdiam. Istrinya
terdiam. Dan saya pun pasang muka marah ke arah keduanya.
Tak lama kemudian wanita paruh baya itu
menutup mulutnya dan batuk ngegerowok keras ekali, kemudian menutup tirai
jendela, dan terlihat bayangan dia berjalan kedalam dan kembali batuk sangat
keras dan terdengar suara lirihan darinya, help me…
Julian bergegas masuk saya pun perlahan
mengikuti dari belakang dan melihat sang istri sedang setengah membungkuk, dan
muntah, muntah darah segar.
Saya shock!!
Sang istri di papah Julian ke tempat tidur
dan Julian menelpon emergency line.
Saya mundur keluar rumah perlahan hanya
melihat dari kejauhan, disisi lain saya sangat murka, disisi lain saya kasihan,
disisi lain saya tidak tahu harus melakukan apa, karena bukan sebuah peristiwa
yang umum terjadi.
Saya hanya bertanya ke Julian , what’s
happened?
Julian berkata, She was sick, she got
cancer, setelah berkata cepat dia kembali sibuk mengurusi bekas darah di lantai
dan bergegas mengurusi sang istri.
Saya berdiri mematung di tepi jalan dan tak
lama ambulan datang. Semua berlangsung cepat, kira-kira kurang dari 15 menit
kemudian tinggal saya sendirian. Rumah Julian di tinggal masih dalam keadaan
tidak di kunci, kosong. Julian dan istrinya naik ambulan ke rumah sakit.
Saya
lunglai di negeri orang. Hari berlalu dengan cepat, saya menatap jam sudah
menunjukan waktu tengah malam dan menunjukan satu hal yang pasti bahwa 4 hari
lagi menuju deadline sisi kenyataan lain menunggu keputusan. #peace (bersambung)
Bagus sekali p Wowiek.
BalasHapusBilly Sunarno yg pernah di PT Megasino Investama, WTC.
0811146563
Banyak dialami oleh berbagai warga , tapi mas Wowiek bisa mengambil inisiatif yg tepat , membela ibu nya dg penuh tanggung jawab
BalasHapusHanya dimiliki oleh orang2 yg memiliki value dan integritas tinggi